Menyambung postingan ‘Pulau Masakambing 14:2’, tulisan ini sebenarnya sudah sangat telat. Kegiatannya sudah hampir satu bulan lalu dan baru di ceritakan sekarang. Tapi tak apa lah, ya? Sesuai dengan kata bijak dari N/A ” Lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali ” jadi boleh terlambat asalkan hanya sekali.
Seperti terjadi euforia ketika ‘Taksi’ yang membawa kami dari Masa Lembu mendekati Pulau Masakambing. Cowok – cowok banyak yang duduk depan, meskipun saya berdiri. Babi yang bermuka pucat mencoba menunjukan bahwa dia biasa – biasa saja dengan berteriak, seperti sedang naik Roler Koster (boso indonesia ae). Itu terjadi ketika gelombang air agak besar dan taksi bagian depannya sedikit terangkat dan kemudian seperti di banting.
‘Taksi’ perahu itu terus mendekat mengikuti alur yang sudah ada. Beberapa perahu yang sandar mulai terlihat. Bahkan beberapa burung di daratan sudah mulai terlihat, artinya waktu sandar sebentar lagi.
Kami mendarat di lokasi dimana tahun 2013 kami juga mendarat. Dengan pantai pasir putih yang membentang luas di pulau itu semakin menambah indah pesona masakambing. Bagi beberapa orang yang baru pertama ikut ke masakambing sudah pasti pengen foto selfie atau kalau ndak ya minta di fotoin. Meskipun pada akhirnya kami foto bersama. Foto pertama masuk biar ketahuan tampang sebelum dan sesudah di masakambing.
Ah, akhirnya saya kembali lagi ke pulau ini. Rasanya baru kemarin saya meninggalkan pulau terluar di Kep. Madura itu. Seneng sih karena masih bisa bersilaturahmi dengan masyarakat masakambing. Selain itu juga bisa motret Kakatua dan burung – burung yang di daratan jawa saya gak bisa nemuin.
Oke,..
Langsung saja!! Sore di hari pertama saya, zul, didik, babi, yogie, cak topa menyambangi tambak yang kami kasih nama gubuk sinyal. Lho? Iya, disitu tahun lalu saya, zul, topa, joko dan satu rekan dari bksda mencari sinyal hp untuk menghubungi orang rumah dan orang terdekat. Berebut sinyal adalah hal bodoh karena suatu hal yang tidak mungkin. Kecuali rujaknya bu usman baru bisa dibuat rebutan,.
Tambak tampak kering. Perkiraan tambak banyak burung pantai pupus sudah. Hanya Kekep Babi dan Cekakak Sungai. Hanya terdengar suara burung Gajahan Pengala tapi jauh dan tidak tau arahnya dari mana. Tampak dua ekor kakatua terbang dari arah hutan mangrove menuju tengah pulau. Kemungkinan menuju pohon yang menjadi tempat tidur mereka. Tanggal 7 Oktober menjadi awal kegiatan kami di Pulau berpenduduk sekitar 500 KK. Kami akan menjadi mata – mata penghuni masakambing. Kami akan menjadi wartawan Beka.
Penunggu Pohon Kapuk
Malam hari breefing mengatur strategi plus pembagian pos pengamatan. Ada yang di pos kacang, masjid, mangrove daeng, wa hadi, dan beberapa tempat lain. Bukan arisan jadi gak di lakukan pengocokan nomor undian. Pokoke langsung tunjuk. Saya kebagian pohon kapuk randu (Ceiba pentandra) dekat rumah Wa Hadi. Satu pohon kapuk yang menjadi sarang sepasang kakatua. Begitu juga dengan yang lain, mereka pun kebagian masing – masing satu pohon yang biasanya menjadi pohon tidur.

Cek sarang kakatua di dekat rumah wa Hadi. Photo oleh: Agus Irwanto
Kegiatan pengamatan dilakukan mulai pukul 06:00 waktu Indonesia wilayah masakambing. Hari pertama monitoring, di pagi hari terlebih dahulu kami melakukan orientasi medan. Keliling bersama satu tim mengidentifikasi pos masing – masing sehingga bisa dipetakan jalur yang harus ditempuh pas harus berjalan sendiri. Selain itu, hal tersebut juga supaya masing – masing anggota paham dan diharapkan bisa memetakan arah terbang kakatua yang sedang diamati. Mengapa demikian? Supaya tidak terjadi double counting, penghitungan ulang. Nah, hari – hari kami di masakaming kami lalui sebagai rutinitas harian yang pasti. Pagi jam 06:00 – 10:00 dan Sore 16:00 – Waktu gelap.
Hari – hari kami menjadi penunggu pohon kapuk. Pagi hari kami sudah berada di sekitar pohon yang menjadi sarang dan tempat tidur para kakatua. Begitu juga sore hari. Mungkin orang – orang memandang aneh kepada kami yang duduk diam dan mencatat aktifitas kakatua. Setiap ada yang melintas di sekitar pohon kapuk pasti selalu mengamati kami. Kecuali yang sedang nyetir motor, sedikit menoleh dan kembali fokus. Ada sebuah tatapan yang seolah aneh pada beberapa orang yang melintas.

Sepasang kakatua yang bersarang di pohon kapuk dekat rumah Wa Hadi
Banyak cerita, banyak kisah
Ada yang pernah lihat pohon kapuk berbuah sukun? atau pohon randu kemudian berubah menjadi pohon sukun? Percaya atau tidak itu ada di pulau masakambing dan hanya satu orang yang bisa melihatnya. Dia adalah seorang berperawakan agak tinggi. Berbadan kurus, kulitnya agak putih sebelum masuk masakambing. Yogie namanya. Di tangan dia pohon kapuk bisa berubah menjadi pohon sukun. Ada rasa tidak percaya dengan apa yang di sampaikannya ketika pulang ke pos. Apalagi pak Usman yang tidak pernah melihat ada pohon sukun yang jadi sarang dan tempat tidur para kakatua yang dekat dengan masjid. Tak terlebih saya yang tahun lalu bertanggung jawab observasi di pos Yogie. Di sana tidak ada pohon sukun.
Mau tau lagi ceritanya? Oke,. akan saya beberkan apa yang saya lihat ketika saya mampir ke pos Yogie dan mungkin ini bisa jadi petunjuk kenapa pohon randu bisa jadi pohon sukun. Saat itu memang sudah lewat Adzan Maghrib dan kebetulan dua individu kakatua yang dari spot saya terbangnya ke arah pos yogie. Ada seorang gadis berambut panjang petang itu. Sepertinya Ia adalah anak yang punya rumah dimana Yogie ngePos untuk ngamati kakatua. Mereka itu tampak akrab, entah apa yang mereka obrolkan. Satu teko/poci air minum dan dua gelas dihidangkan di teras rumah. Tanda ada dua orang yang baru saja minum teh bersama. Apakah Yogie dan Gadis berambut panjang yang belakangan diketahui bernama Samparina itu yang baru saja ngteh berdua? Kalaupun iya itu sah – sah saja. Nah,. mungkin, ini asumsi saya, kemungkinan Yogie jadi mengalami keanehan ketika bertemu Samparina dan kemudian terjadi Disorientasi antara Pohon Kapuk dengan Pohon Randu. Selebihnya silahkan asumsikan sendiri,..
Cerita lain datang dari Babi, bukan nama sebenarnya, karena nama seberanya adalah Agus Uwais Al Qarni. Yah, begitulah kalau PA (Pecinta Alam), aneh, nama bagus jadi Babi. Mahasiswa UnTag Banyuwangi berbadan gempal itu selalu mencium bau – bauan aneh yang katanya bikin kuduk merinding. Itu mungkin kerap Dia alami ketika hari mulai gelap. Kondisi seperti itu sebenarnya tidaklah enak, tapi apa mau dikata. Data kakatua ndak boleh terlewat. Padahal kalau ngomongin kuduk merinding pun saya sendiri mengalami. Di pos saya sejak sore pertama itu sudah terasa. Begitu adzan maghrib dan kakatua berteriak, merinding itu terasa semakin kuat. Seperti itu setiap hari dan tambah kuat. Dalam hati “ada yang gak beres” dari tempatnya.
Cerita merinding dan lain – lain itu kami keep sampai kami pulang ke Sidoarjo. Di rumah mas Fajar semua baru keluar. Saya bercerita ke Pak Usman. Beliau hanya tertawa saja.
” Saya kira gak tau mas. Haha,. saya juga mikir kok anak – anak berani sendiri duduk di posnya masing – masing? ah sudahlah. biarkan saja”. Kata pak usman kala itu.
“Iya pak, apalagi hari terakhir itu rasanya sudah benar – benar keterlaluan “. kata saya.
” Semua pos yang kalian tempati itu masing – masing ada ceritanya. Di tempat mas asman itu ada dan jarang kalau gelap ada yang berani jalan di tempat itu. kemudian di tempat agus/babi itu dulunya ada pohon nangka besar dan disitu sering terlihat perempuan gantung – gantung di dahan nangka” kata pak usman menambahkan ” nah, kalau tempatnya yogie sih jangan di tanya, setannya cantik dan bikin mata terbalik”,.. haha,. kami pun tertawa.
Bahasan itu akhirnya berlanjut ke Kakatua yang ada di masakambing. Menurut cerita orang tua kakatua adalah burung asli yang sudah ada sejak moyang penduduk masakambing. Kakatua kerap menjadi tanda ketika ada penduduk atau warga yang akan meninggal. Menurut yang saya temui, kakatua akan bunyi dan yang bunyi bukan hanya satu, tapi semua kakatua yang ada mengeluarkan suara siang dan malam. Kalu sudah begitu maka para penduduk sudah siap – siap mendengar kabar duka yang disampaikan melalui pengeras suara Masjid.
Oke, kira – kira begitu cerita dari masakambing yang bisa saya sampaikan. Wes saknonone ngono kuwi,.
:: Feature image oleh Agus Irwanto