Untuk saat ini saya sedang senang menulis hal – hal yang berhubungan dengan kata “Wonosadi”. Hutan Adat Wonosadi merupakan contoh pengelolaan konservasi oleh masyarakat. Rasa memiliki yang tinggi yang tertanam dalam diri warga dusun Duren dan Sidorejo, Desa Beji, Kecamatan Ngawen, Gunung Kidul itu memang sudah ada secara turun temurun.
Tepat dihari Batik Nasional, 02 Oktober 2013 sebuah hajatan “Pelepasliaran Elang Brontok” dan ratusan burung seperti Cucak Kutilang, Tekukur Biasa, Bondol Peking dan Bondol Jawa oleh Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Yogyakarta dan Gembira Loka Zoo menambah jumlah jenis bung yang ada di Wonosadi. Sama seperti acara – acara seremoni yang lain, pelepasliaran berbagai jenis burung ini pun dihadiri sejumlah undangan dari berbagai instansi terkait yang menjadi relasi si empunya gawe, KSDA. Sedangkan saya ada disana memang karena diminta tolong bantu memonitor elang brontok yang diberi nama Surip Darwis.
Ok, langsung saja!
Pelepasliaran elang tanggal 2 oktober itu sudah pasti diawali dengan sambutan – sambutan para pimpinan yang berkepentingan disitu. Kemudian berangkat mereka dari lokasi sambutan ke lokasi pelepasliaran yang kira-kira 300 meter lah,. Wartawan sudah rame berkumpul. Berebut mencari lokasi terbaik untuk medapatkan hasil foto bagus layak tampil di media mereka. Meskipun pada akhirnya dari kebanyakan berita tidak menyertakan foto hasil jepretan dilokasi. Tapi nyomot foto GUE,..

rombongan tamu undangan / by. Zulfikar AZA
Pelepasliaran dilakukan oleh Ibu Kepala Balai KSDA Jogja di dampingi Direktur kebun Gembira Loka dan teknisi sebagai pengarah pimpinan cara membuka pintu kandang. Surip yang sudah stres dari pagi karena banyak di kerubutin wartawan. Ya, Surip jadi artisnya hari itu. Oia, yang namanya seremoni dengan banyak orang kalau kita ngomong gak pake pengeras suara kan gak denger ya?.. Nah, aba-aba hitungan mundur untuk pembukaan pintu kandang pelepasliaran terdengan dari Megacot. Surip cuma tengak- tengok tampang blo-on. Wartawan siap menghadang dengan kamera masing-masing.
Surip keluar dari kandang habituasi bukan setelah pintu kandang terbuka. Tapi keluar kandang karena takut mendengar tepuk tangan dari seluruh undangan yang hadir.
Oke, kita tinggalkan acara semoninya. Kita beralih ke hal lain. Beralih ke BuHarTi (Pengamatan Burung diHari Batik). Sebuah kegiatan pengamatan burung dihari batik sebagai peringatan dan penghargaan kita terhadap Batik Indonesia, kegiatan yang tercetus dari ide si Imam T sang legendaris. Saya dan kawan-kawan hari itu menggunakan batik meskipun pada akhirnya tidak banyak melakukan pengamatan burung di hutan wonosadi. Hanya mengamati yang terlihat saja. Panas lik nganggo batik!!
Panas-panas berbatik menjadi hal yang terlihat biasa. Mungkin karena berbarengan dengan acara hajatan jadinya biasa saja. Padahal kalau itu hari biasa, terus kami ngejar-ngejar elang menggunakan baju batik, sudah pasti jadi hal yang menarik ” ning alas kok nganggo batik” kemungkinan komentar yang muncul dari warga yang melihat kami akan seperti itu. Hari itu kami berbatik, bangga jiwa nasionalisme, bangga merayakan warisan bangsa, ngamati manuk dihari batik,.
Pelepasliaran Surip Darwis pada akhirnya akan menjadi kenangan tersendiri dan mudah di ingat dan akan diperingati setiap tahunnya. Ngepasi pas hari batik,. Meskipun pelepasliaran dengan rasa pesimis dari kami yang melakukan monitoring. Bagaimana tidak, jelas-jelas belum siap secara perilaku tapi pelepasan tetap dilakukan. Sampai dengan tulisan ini saya buat, surip belum sekalipun naik ke kawasan hutan. Dia masih disekitar kampung, makan ayam warga, tidak takut sama manusia.
Elang hasil pelepasliaran memakan ayam memang sudah biasa, tapi ini menjadi pembelajaran bagi kita semua bahwa hal semacam itu tetap bisa di minimalisir ketika semua proses tahapan demi tahapan sebelum rilis dilakukan. Misal, masa rehabilitasi yang terhindar dari hiruk pikuk aktifitas manusia, habituasi minimal dua minggu, perilaku sudah 90 % liar. Elang liarpun kadang masih memangsa anak ayam yang bermain di pinggir hutan. Akan tetapi perilakunya tetap liar. Yang liar tidak akan turun menangkap ayam kalau ada aktifitas manusia. Dan pada akhirnya harus ada kasus seperti ini agar semua dapat belajar bahwa pelepasliaran itu tidak mudah. Ada hal-hal yang harus dijalani dan itu tidak bisa di abaikan begitu saja.
Ok dab!!,. Semoga Surip Darwis tidak seperti namanya, Sukur Urip Modar yoWis,.. [AAP 09/10/13]